Senin, 04 Agustus 2008

sorot mata itu...

Aku melihat sorot mata itu…
Seperti kosong...seperti tak kuasa lagi
Aku mendekat berharap ia mampu memutar kembali memorinya untukku. Tatapannya masih kosong dengan nafas yang berat ia masih memandangiku. Aku memberanikan diri untuk menguji ingatannya meskipun nanti itu akan menyakitkan. Ketika aku menanyakan siapa diriku dia hanya diam sambil terus memandangiku,kali ini dengan tatapan yang lebih tajam, tatapan tajam seorang manusia dengan usia hampir satu abad. Meski lemah Ia terus berusaha tapi tampaknya tak berhasil. Meski dengan segala rasa pengertian akan kondisinya kini, hal itu tak mengurangi rasa sakitku, lebih tepatnya perasaan bersalah, perasaan kasihan, dan segalanya. Usia kadang meminta lebih dari sekedar raga yang kian melemah tapi juga kekayaan manusia yang terakhir setelah ia tak meiliki apapun. Pikiran...manusia ialah dia dengan akalnya. Ketika kekayaan yang terakhir itupun hampir terenggut aku tidak tahu akan seperti apa dunia yang ia jalani.
Aku kembali menyelam ke dalam matanya. Ia kini seperti memohon untukku memutarkan kembali memorinya. Ia seperti berkata ”Tolong jangan siksa aku dengan memaksa untuk mengingatmu. Aku sudah tak kuasa lagi untuk mengingat semuanya.” Dan ia pun benar-benar berkata diantara tarikan nafasnya yang semakin berat, ”Aku wis ga eling opo-opo nduk” (aku sudah tidak ingat apa-apa)
Dan akhirnya aku pun menyerah...aku mengenalkan diriku sebagai cucu dari anak perempuannya yang terakhir. Ia pun menghela nafas panjang seolah lega mendengar jawabku. Kembali dengan nafas yang berat ia kembali memandangku dengan tatapan kosong. Meski aku telah mengenalkan diriku ia sepertinya tak mampu lagi memutar memorinya tentang diriku. Oh Tuhan betapa menyakitkan. Apa ia lupa...benar-benar lupa bagaimana dulu ia merawatku. Ia selalu memakaikan selimut saat aku tidur. Meski aku tidak suka dan tengah malamnya selimut itu akan aku buang. Apa ia lupa bagaimana cara ia menciumku. Kedua pipiku lalu keningku hingga meniupkan doa di ubun-ubunku. Lalu ia menempelkan ujung hidungnya dan hidungku hingga kami pun sama-sama tertawa geli. Apa ia juga lupa bagaimana ia memuji parasku. Mengajari menyentuh wajahku. Menyentuh dengan lembut kedua pipi dengan kedua tanganku lalu dengan perlahan memijatnya dengan lembut dan mengarahkannya ke atas. Ia juga mengajariku menarik dagu ke bawah.
Rasa perhatiannya sebagai seorang nenek juga ia tunjukkan dengan selalu menyisihkan sisa uangnya, berapapun itu. Ia simpan di satu bungkusan kain dan saat cucu-cucunya datang menjenguknya ia berikan beberapa untuk kami. Tak berarti nominalnya tapi bentuk perhatiannya yang selalu membuat kami cucu-cucunya terkesan. Mungkin aku bukan seorang cucu yang sangat dekat dengannya tapi aku bisa marasakan bagaimana bentuk perhatiannya meninggalkan kesan tersendiri di hatiku. Ada juga beberapa kejadian saat aku begitu tidak menyukai pemikiran seorang nenek yang terlalu konvensional yang sebenarnya masih merupakan bentuk perhatian seorang nenek kepada cucunya. Tapi itu menjadi tak berarti karna ia begitu menyihir kami dengan semua perhatiannya dan kecerewetannya yang menjadi pembicaraan yang mengasyikkan bagi kami para cucunya yang begitu mencintainya.
Aku masih berharap ia mampu memutar kembali memorinya untukku meski itu sepertinya tak mungkin. Aku juga tidak mungkin menceritakan satu-satu detil kejadian yang pernah kami lalui. Aku menatapnya penuh iba dengan segala rasa cinta yang dimiliki seorang cucu kepada anaknya. Aku sudah tak peduli lagi bagaiamana ia akan memutar memorinya untukku, aku hanya ingin ia tahu betapa aku mencintainya. Aku menciumi kedua pipinya dan ia tersenyum. Ya Allah betapa indahnya senyum itu. Aku mampu melihat senyum itu. Dan ajaibnya aku mampu membuat senyum itu setelah aku mencium kedua pipinya. Indahnya senyum itu menyiramkan kesejukan di hatiku. Dan kedua air mataku pun sudah menggantung di ujung mataku. Tapi aku tidak ingin menangis karna aku terlanjur melihat keindahan senyum itu. Aku tidak ingin merusaknya dengan rasa haruku. Dan kini aku mencoba mencium keningnya lalu memintanya mencium keningku. Ia melakukannya dengan senyuman. Oh indahnya. Lalu aku memintanya untuk membacakan doa untukku dan meniupkannya ke ubun-ubunku seperti yang selalu ia lakukan dahulu. Dan Subhanallah...Ia melakukannya ia membacakan doa itu dengan lancar dan sangat lancar. Subhanallah…Setelah beberapa memori ia lupa ia tak pernah lupa akan Engkau Ya Allah. Dan saat ini aku begitu tersentuh hampir tak menguasai lagi diriku. Mungkin aku telah meneteskan air mataku yang tadi menggantung di ujung mataku. KebesaranNya mampu mengalahkan apapun. Aku bersyukur ia masih mengingatMu. Dan ia meniupkan doa itu untukku. Dan kini kesejukan telah memenuhi rongga dadaku dan seluruh tubuhku. Keindahan dan ketentraman itu mampu ia berikan untukku di tengah usianya yang renta dengan doa yang aku yakin akan selalu menyertaiku. Dan kini aku pun membalas senyumnya dan menempelkan hidungku di hidungnya, mencoba mengingatkan kebiasaan kami dulu. Ia pun tersenyum dan membalas perilakuku sambil menambahkan bonus ciuman di kedua pipiku. Ia menciumiku seolah ingin menghabiskan seluruh wajahku. Aku bahagia…aku bahagia…
Ya Allah apapun dosanya ampunilah Ia Ya Allah...Berikanlah ia jalan yang mudah di dunia maupun di akhirat. Demi Allah aku mencintainya...