Jumat, 09 November 2012

JURNALISTIK???

As a Journalist??But what is journalistic??? Itulah pertanyaan yang terlintas di kepala saya ketika membaca tittle pekerjaan yang tercantum di kartu nama saya. Sekonyong-konnyong saya merasa bingung, heran, senang sekaligus penuh tanda tanya. Berulang kali saya harus mencubit tangan saya sendiri dan menyadarkan siapa diri saya sekarang. I’m not designer anymore. I won’t create sumthing. But I’ll search sumthing to be news. Yes I’m a journalist. Meskipun masih terbata, saya berusaha memahami posisi saya. Meskipun tanpa diklat atau masa orientasi, sebisa mungkin saya memahami peran yang saya jalankan dalam sebuah media. Pekerjaan yang sebetulnya saya impikan, entah kenapa jadi begitu membutakan saya. Seperti cahaya bintang yang kita lihat dari kejauhan. Indah, apalagi jika kita mampu menggenggamnya. Tapi ketika cahaya itu dekat, ternyata begitu menyilaukan. Seketika juga membutakan. Mungkin itu juga yang saya rasakan pada awalnya. Tapi sebuah proses membawa saya pada banyak pelajaran. Diam dan banyak mendengarkan sambil diam-diam “mencatat” apa yang mereka katakan tentang jurnalistik. Jurnalistik = suck = ??? Suatu ketika saya terkejut dengan kata-kata rekan saya yang lebih lama berkecimpung di bidang jurnalistik dibanding saya. Dia bilang “Jurnalistik itu suck!!!”. Dengan keras ia mengatakan itu kepada saya. Saya lama termangu menunggu kata-kata selanjutnya. Kata-kata itu sungguh menampar saya. Menampar saya sebagai seorang journalist. Jika journalistic itu suck, lalu apakah saya yang notabene adalah journalist juga bagian dari kata suck itu. ??? Dan dia menjelaskan beberapa kalimat. Bercerita tentang jurnalistik yang lebih banyak dia tahu dibanding saya. Saya mendengarkan, seksama, tapi tetap tidak terpuaskan. Ada banyak hal yang harus saya tahu tentang jurnalistik. Dan itu tidak bisa terpuaskan hanya dengan cerita. Saya harus mengalaminya. Saya harus masuk di dalamnya. Dan saya baru bisa menilai sendiri apa itu sebenarnya jurnalistik. Jurnalistik = jam terbang ??? Redaktur pelaksana media saya pernah bilang bahwa jurnalistik itu adalah tentang jam terbang. Saat itu saya sadar betul bahwa level saya masih beginner. Ia bilang dari jam terbang itu seorang wartawan akan mendapatkan semakin banyak narasumber yang bisa memperkuat tulisannya. Darisana saya simpulkan jurnalistik itu lebih dari sekedar menulis. Proses sebelum menulis itu lah seni profesi seorang wartawan. Jam terbang itu penting. Saya sadari betul kalimat itu untuk memacu saya lebih baik lagi dan lagi. Tapi terkadang itu membuat saya kecil hati. Terutama jika berada di tengah wartawan lain. Seperti suatu ketika saya berada dalam sekelompok wartawan. Waktu itu kami sedang menunggu narasumber kami. Kami berempat waktu itu. Satu orang sudah malang melintang di dunia wartawan. Berpindah-pindah dari satu harian ke harian, hingga akhirnya memegang majalah untuk stake holder. Satu lagi wartawan harian ekonomi yang dulu sempat lama di majalah ekonomi juga. Satu orang lagi wartawan majalah ekonomi yang ternyata teman sepantaran bos saya. Dan saya sendiri wartawan majalah arsitektur interior yang belum ada satu tahun menjadi seorang wartawan. Yang masih meraba tittle journalist di kartu nama yang suka dbagi-bagikannya. Sambil membunuh waktu kami pun ngobrol ngalor ngidul. Lebih tepatnya mereka sih yang ngobrol ngalor ngidul. Membicarakan teman mereka satu sama lain yang sama-sama bekerja di media. Si toni lah, joko lah, ah siapa itu saya tidak tahu. Praktis saya lebih banyak diam. Maw ngobrol tentang ekonomi juga saya bingung. Apalagi teman-teman wartawan yang lain. Sampai akhirnya mereka sampai di satu pembicaraan seorang wartawan harian ekonomi yang mengeluhkan pekerjaan wartawan-wartawan karena masih baru. Dan pipi kanan saya tertampar . Meski dia kemudian meralat ucapannya karena saya nyelethuk sensi meski sambil bercanda. Ia meralat wartawan harian dan wartawan majalah pressure nya beda. Yah sudahlah. Bagaimanapun dia meralat ucapannya, pipi kanan saya sudah terlanjur tertampar. Tidak seberapa sakit sih. Masih ada pipi kiri yang baik-baik saja. Lagipula saya sudah sadari betul sih, jurnalistik adalah tentang jam terbang. Tamparan di pipi kanan rupanya tidak benar-benar cukup. Satu lagi kejadian. Ada satu lagi wartawan yang ikut nimbrung selain berempat tadi. Wartawan majalah stake holder yang sebelumnya sudah malang melintang di dunia jurnalistik. Waktu itu kita sedang membicarakan tulisan harian lain tentang event yang sama-sama kita liput. Membicarakan satu judul yang terbilang sangat-sangat positif yang akhirnya jadi malah negatif menurut kami. Dan wartawan baru yang ikut nimbrung tadi membanting korannya ke meja sambil bilang “Di dhelok tekhok lead e ae wes kethok lek wartawane anyar gurung ono setaun”. Kurang lebih artinya “Dilihat dari leadnya saja sudah kelihatan kalo wartawannya baru belum ada setaun”. Dan benar saja sekarang pipi kiri saya yang tertampar. Keras. Lebih keras dari tamparan sebelumnya. Karena kali ini tidak ada ralat. Karena saya pun memilih diam saja. Diam. Benar-benar diam. Sudah telak! Tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yayaya…jurnalistik adalah tentang jam terbang. Itu benar. Tapi hati saya tetap tidak terpuaskan. Apakah benar tonggak demokrasi bertopang pada yang namanya jam terbang. Saya masih terus mencari. Menangkap momen, menyimpannya dalam memori saya, dan mencari tahu apa itu jurnalistik. Waktu itu dalam sebuah diskusi terbuka ada banyak orang yang hadir dari berbagai macam latar belakang pendidikan dan usaha. Ada pengusaha, asosiasi pengusaha, narasumber, pemerhati lingkungan, dan tentu saja ada wartawan. Salah seorang narasumber yang juga senior di salah satu media terbesar mengungkapkan pertanyaan yang sedikit menohok salah seorang pengusaha yang sedang punya hajat dalam acara itu. Sekonyong-konyong setelahnya seseorang yang mengaku dari media daerah itu mengajukan pernyataan dengan komparasi yang dangkal menurut saya. Dan disana terlihat sekali ia membela pengusaha yang sedang punya hajat. Saya cuma tersenyum getir mengikuti debat kusir itu. Debat yang tidak cerdas dan tidak anggun. Seorang wartawan harian ekonomi di belakang saya nyeletuk “wartawan bayaran nih”. Oh God, saya tersentak! Dia membuka satu celah pikiran negatif yang sebenarnya tidak terlintas di benak saya.Tapi melihat ketidakwajaran itu, mau tidak mau kemungkinan itu pasti ada. And there were so discusting!. Mungkin ini yang dikatakan rekan saya bahwa jurnalistik itu suck! Saya Cuma mengelus dada. Mungkinkah serendah itu. Dan dari yang saya tahu dia wartawan yang punya jam terbang. Bukan wartawan baru seperti saya. Sayangnya jam terbang yang dia miliki rupanya tidak menjanjikan banyak hal seperti yang saya harapkan sebelumnya. Jam terbang ternyata tidak menjanjikan segalanya tentang jurnalistik. Hal yang sama dikatakan teman satu kos saya juga yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia jurnalistik. Dia bilang “Lihat dulu hasil tulisannya baru dia bisa sok-sokan. Belum tentu lagi yang sudah senior lebih baik,” Dan kata-kata itu menghibur saya. Setidaknya membesarkan hati saya yang sudah ciut. Loyalitas! Seiring dengan waktu rasa solidaritas dengan sesama komunitas itu mulai muncul. Yah…gimana engga. Lingkungan sekeliling saya wartawan. Makan ketemu wartawan, pulang ke kosan ketemu wartawan, kerja juga jadi wartawan. Otomatis ya omongannya seputar jurnalistik, atau komentar-komentar khas wartawan. Yang biasanya pinterrr banget ngritik. Tapi sebenernya belum tentu juga bisa melakukan apa yang dia ungkapkan. Haha… Yah kami wartawan memang harus memegang satu patokan yang benar sih ya. Harus kritis dengan apa-apa yang diluar jalur kebenaran. Ah sepertinya keren yah..penegak kebenaran. Haha.. Rasa solidaritas itu biasanya muncul ketika ada berita tentang wartawan. Misalnya ketika seorang wartawan ditemukan meninggal secara misterius. Atau ketika ada berita wartawan meninggal karna meliput daerah bencana. Meski ga kenal rasanya tuh kayak udah mau nyelawat aja. (Meskipun ga nyelawat juga sih akhirnya). Melihat wartawan yang bekerja dengan penuh loyalitas tuh rasanya pengen hormat grak. Apalagi sampe berkorban nyawa gitu. Menyeramkan kalo sudah seperti itu. Dulu saya cuma lihat di tv atau di film2 wartawan-wartawan yang diteror karena menulis berita yang mengancam seseorang. Atau wartawan yang menembus medan perang dan bencana. Sekarang semua itu begitu dekat ada di hadapan saya. Welcome to the real world! Pekerjaan ini tidak mudah. Menuntut loyalitas yang tinggi. Jika boleh saya ingin sejajarkan dengan profesi dokter. Jika seorang dokter jam berapapun harus siap ketika ada pasien yang gawat. Begitu juga wartawan harus siap turun kapanpun itu. Seperti terjadi di salah satu teman saya, tetangga satu kosan. Dia harus berangkat malam-malam jam 22.30 waktu itu untuk meliput merapi yang baru meletus. Bayangkan berangkat malam itu juga. Ga pake nunggu besok. Padahal dia baru datang dari liputan di Cirebon. Wah saya ngga bisa bayangkan gimana capeknya. Apalagi kalo inget badannya yang kurus kering. Dan malam terakhir sebelum dia brangkat kita makan malam bareng. Dia masak sayur yang tersisa di kulkas kosan kami. Tinggal dua batang ocet waktu itu. DIa sempet meminta sayuran dari lalapan saya. Karna ga tega saya kasih aja sekalian ikannya. Dan ternyata malam itu juga dia harus brangkat. Untung dia sudah makan malam. Stidaknya ada energi malam itu kalaupun harus turun cari berita malam itu juga. Dan sampai sekarang teman saya itu belum kembali. Bahkan merapi terus bergejolak. Beberapa berita tentang wartawan yang meninggal terkena awan panas sempat jadi berita di awal-awal bencana itu terjadi. Saya kepikiran banget. Teman saya sedang menjalankan tugas, menantang maut. Pergi ke sebuah lokasi bencana. Bukan untuk jalan-jalan pastinya. Tapi untuk mencari berita. BERITA!!! Mencari berita dengan taruhan nyawa. “Keren!” kata seorang teman saya yang punya background jurnalistik. Dan dia bilang dia pengen ditugaskan di medan bencana atau medan perang. Itu katanya liputan tingkat tinggi untuk seorang wartawan. Tapi saya yang bukan dari background jurnalistik berpikir, Apa itu sebanding?? menantang maut di sebuah lokasi bencana hanya untuk mendapatkan berita. Maaf jika penggunaan kata hanya ini tidak tepat. Karena setelahnya saya baru sadar betapa pentingnya sebuah berita. Dengan membuka Koran, internet, atau menyalakan tv kita sudah bisa melihat kondisi saudara2 kita yang terkena bencana. Bayangkan jika tidak ada wartawan disana. Mungkin kita tidak akan tahu kondisi disana dan mereka yang terkena bencana akan tetap menderita. Seperti kata seorang wartawan senior harian kompas “Tugas seorang media adalah MENYUARAKAN MEREKA YANG TERBISUKAN.” Dan saya mengamini kalimat itu benar adanya. Jika media itu bungkam atau dididkte oleh satu kepentingan, jelas saja eksistensinya sebagai media patut dipertanyakan. Dan…sepertinya tulisan saya cukup panjang. Mungkin anda sudah capek bacanya ya. Lalu kesimpulannya apa itu jurnalistik? Yah mungkin terlalu dini untuk wartawan ingusan seperti saya menyimpulkan. Tapi setidaknya saat ini saya bisa bilang jurnalistik itu tidak suck! Jurnalistik seperti halnya bidang pekerjaan lain. Bisa diibaratkan seperti mata uang yang punya dua sisi. Setiap orang bisa memilih akan berada di sisi mana. Wartawan yang jujur mengungkap fakta atau wartawan bayaran dengan berita pesanan. Wartawan dengan loyalitas tinggi untuk mendapatkan berita atau wartawan yang enggan turun dari kursi kerjanya. Semua itu pilihan. Yang jelas pilihan itu akan dipertanggungjawabkan. Berita yang diturunkan seorang wartawan akan berdampak pada sekian banyak pemikiran orang yang membacanya. Jika itu menyesatkan, maka ribuan orang akan tersesat. Tapi jika berita itu benar manfaatnya akan dirasakan banyak orang. Saya masih terus belajar menjadi seorang wartawan. Yang jelas saya bangga dengan status ini dan tidak akan mengecewakan rasa bangga yang tumbuh di hati saya. Saya akan lakukan yang terbaik. *catatan 9nov2010 disalin dari muliply