Jumat, 09 November 2012

RESIGN

RESIGN.

Kata itu beberapa bulan ini akrab di telinga saya. Tidak hanya di tempat kerja tapi juga di KOS-tempat tinggal saya saat ini. Dalam lima bulan terakhir ini kurang lebih ada 10 rekan saya yang resign dari tempat kerjanya. Alasan resign mereka bermacam-macam. Ada yang resign karena ingin fokus pada “karir” barunya sebagai istri. Ada yang resign karena harus kembali ke kota asalnya karena orang tua sakit parah. Ada juga yang resign karena lebih memilih profesi lain yang lebih menantang. Bahkan ada yang resign karena ingin melupakan mantan pacar di satu kantor yang akan segera menikah.

Entah kenapa bermacam-macam alasan itu muncul dalam waktu yang berdekatan, di saat saya memutuskan untuk tetap berada di posisi aman. Dari mereka yang resign, 6 diantaranya resign tanpa ada kepastian dari perusahaan baru yang akan menggandengnya sebagai pekerja. Itu keputusan yang sangat berani, menurut saya. Tidak mudah tentunya bagi seorang pegawai yang sebelumnya “aman” dengan jatah setiap bulan, kemudian harus mengambil resiko bertahan dengan penghasilan tidak tetap dari job lepas (freelance), bahkan mungkin tanpa penghasilan sama sekali.

Saya acungkan jempol untuk mereka yang berani stand up dan membuat pilihan itu. Menurut saya, seseorang yang bisa dengan berani membuat pilihan yang dia inginkan tanpa takut untuk kehilangan nominal yang ia butuhkan, sesungguhnya adalah orang yang kaya - terlepas dari berapapun tabungan yang dia miliki. Semua itu memang pilihan hidup. Tidak ada yang berhak menghalang-halangi keputusan itu. Tidak seorang bos sekalipun.

***

RESIGN

Saya ingat saya pernah melakukannya. Satu kali dulu. Waktu pertama kali bekerja di sebuah PMA (Perusahaan Milik Asing) Italia. Hanya 1,5 bulan, sebelum akhirnya saya membuat keputusan bulat bahwa itu bukan dunia saya. Saya memilih satu kesempatan lain yang sudah saya impikan sebelumnya. Berat rasanya waktu memutuskan mengatakan hal itu pada bos saya. Saya tahu bos saya berharap banyak pada saya yang harus menggantikan posisi pekerja sebelumnya. Tapi toh dia tidak bisa menahan saya, dan memang tidak berniat menahan siapapun yang sudah tidak ingin bekerja dengannya. Ya buat apa ditahan-tahan kalo memang sudah tidak ingin kerja lagi kan. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Tapi ternyata, toh tidak semua manajemen perusahaan bisa dengan lapang dada melepaskan pegawainya. Perusahaan tempat teman dekat saya bekerja contohnya. Setelah memenuhi prosedur untuk mengajukan surat resign sebulan sebelumnya, dia akan menerima sindiran2 nggak enak sebulan sebelum dia hengkang. Katanya nggak butuh lah, buat apa bertahan, dsb. Kadang saya heran dengan manajemen perusahaan yang seperti itu. Harusnya mereka bangga ketika pegawai didikannya mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Artinya perusahaan itu tidak sia-sia mendidik pegawainya sehingga diakui perusahaan lain. Tapi toh tidak semua bos perusahaan bisa berpikiran seperti itu. Ada yang merasa rugi kalau tidak “memeras” pekerjanya sampai habisbisbis. Kasian ya buat perusahaan yang seperti itu. Merasa kaya padahal miskin.

***

RESIGN

Saya pernah melakukannya, karena itu saya tahu kapan keputusan itu harus benar-benar diambil. Dulu sebelum saya resign dari pekerjaan yang lama, saya memang merasakan beberapa hal. Saya sering malas bangun ketika pagi. Bahkan merasa sedikit trauma sampai sekarang ketika mendengar bunyi penjual roti. Bunyi-bunyian penjual roti itu mengingatkan saya bahwa hari sudah pagi, dan artinya juga saya harus melangkahkan kaki saya ke tempat yang sejujurnya tidak saya minati.

Saya juga merasakan badan saya mulai aneh. Mulai tidak nafsu melihat makanan dan merasa cepat kenyang. Alhasil badan pun mengurus. Saya merasa sering sakit perut. Hingga pada puncaknya saya merasa perlu check up, tes urine, untuk meyakinkan kondisi kesehatan saya. Hasilnya, saya baik-baik saja. Aneh kan, padahal saya merasa tubuh saya sakit. Yahh…mungkin psikis saya yang sedang “sakit”. Tersenyum setiap saat tapi sesungguhnya ada sesuatu yang tertahan.

Ya. Saya merasa pekerjaan yang saya terima waktu itu tidak tepat. Meski menjanjikan karir dengan standar sebuah PMA. Tapi, toh pekerjaan lebih dari sekedar karir kan.Saya harus menikmatinya. Saya bukan orang yang mudah nrima begitu saja. Jangan harap saya menyerah dan bilang “Ya sudah lah, alhamdulillah udah dapet kerjaan ini. Cari kerjaan kan susah.” No saya bukan orang seperti itu.

Dan untungnya pekerjaan yang saya impikan datang juga. Meski sedikit terlambat, tapi tentu saya tidak ingin membuang kesempatan itu. Dengan tekat bulat saya mengatakan pada bos saya. I’m sorry. Akhirnya saya resign setelah saya menerima gaji pertama saya yang utuh. Bye. Setelah itu saya menjalani hidup baru dengan pekerjaan baru.

***

RESIGN

Mau tak mau akhir-akhir ini saya harus memikirkan kata itu lagi. Entahlah. Saya telah menggenggam mimpi saya dengan berada di posisi ini. Tapi bukankah waktu terus berlalu dan saya bukan berubah tapi juga ikut tumbuh. Baik itu perasaan saya, pikiran saya, juga lingkungan saya. Ada banyak yang saya pikirkan, lebih dari sekedar karir, salary atau beban kerja. Sebuah pilihan hidup untuk melangkah.

Apapun itu saya rasa tidak baik jika seseorang berhenti lalu merasa cukup padahal sebenarnya ia bisa berkembang lebih. Saya mulai merisaukan banyak hal. Hingga saya sadari saya mulai mengalaminya lagi. Trauma dengan pagi. Merasa sakit meski tak benar-benar sakit.

Untungnya masih ada yang mengingatkan saya makan. Setidaknya masih ada yang membuat saya sedikit lupa akan hal itu. Tapi toh lupa itu tidak bisa membuat saya lari. Masalah itu akan tetap ada disitu, tetap seperti itu, jika saya diam dan tak coba mengatasinya. hpfhhh... Saya tahu saya harus segera membuat keputusan.

*catatan 31juli2011 disalin dari multiply