Selasa, 13 November 2012

TITIK BALIK

25 tahun. Mungkin disinilah titik balik kehidupan saya. Perubahan itu pasti. Dan disini saya sebut titik balik karena ada banyak hal yang harus saya putuskan dengan berani. Semua yang pada akhirnya mempengaruhi jalan hidup saya ke depan. *** Saya memutuskan untuk menikah di usia 24. Cukup umur memang, tapi tidak terlalu tua (setidaknya di jaman ini). Bahkan sebagian orang masih terkeju ketika tahu saya sudah menikah. Pernikahan itu mau tidak mau merubah arah pola pikir saya. Bukan hanya bicara tentang mimpi saya tapi juga mimpinya. Bukan hanya melulu mimpi dia tapi juga mimpi kami. Dan mimpi kami sederhana. Sebuah keluarga kecil yang bahagia. Ada senyum hangat sang istri yang menyambut sang suami ketika lelah bekerja. Ada celoteh anak kecil yang selalu menyegarkan suasana. Kebahagiaan keluarga dalam kehangatan sebuah rumah dan lingkungan yang nyaman. Meraih hal sederhana itulah yang esensial bagi kami. Tapi terkadang meraih kesederhanaan itu tak semudah meraih mimpi akan kemewahan yang semu ya. Sulit...bukan berarti kami tak berusaha. Banyak hal yang butuh sekedar peluh tapi juga tangan Tuhan. Dan doa adalah kekuatan kami. Saat itu menjelang ulang tahun saya ke 25, suami bertanya apa keinginan saya. Saya terdiam. Berpikir apa lagi yang belum saya miliki. Hamil. Saya ingin menjadi wanita seutuhnya. Dan dia pun sempat terdiam ketika mendengar keinginan saya. Mungkin Ia sedikit kebingungan karena tak bisa membeli apa yang saya inginkan di mall atau toko. Tapi seketika kemudian dia mengamini. Mengamini keinginan saya sebagai sebuah doa. Doa akan mimpi kami. Mimpi kami berdua. Pagi itu ucapan ulang tahun dari suami menyambut saya, tepat saat saya terbangun dari tidur. Bahagia dan syukur saya panjatkan. Sekaligus berdebar karena tepat di hari itu saya akan mencoba. Mencoba satu alat yang sudah dibeli beberapa minggu yang lalu. Sebelumnya meski penasaran, saya enggan mencoba. Takut kecewa. Kali ini saya bertekat harus mencoba alat itu untuk mengobati rasa penasaran saya. Perasaan kecewa tepat di hari ulang tahun sempat terbayang. Tapi saya memberanikan diri meski masih terlambat datang bulan satu pekan. Suami pun ikut berdebar ketika menunggu saya keluar dari kamar mandi. Sementara saya di dalam kamar mandi, mencoba mempraktikkan instruksi yang tertera di kemasan, sambil mengingat betul indikatornya: dua berarti positif dan satu berarti negatif. Saya hampir tak percaya ketika dua garis itu terpampang jelas di layar indikator. Saya keluar perlahan dari kamar mandi sambil menunjukkan indikator hasilnya. Suami segera menyambut saya dengan senyum terlebarnya. Dia berusaha meyakinkan saya yang masih merasa tak percaya. Senang, bahagia, terharu, tak percaya, rasanya campur jadi satu. Ya, saya hamil. Hadiah terindah yang diberikan Tuhan tepat di hari ulang tahun saya :) Rasanya Tuhan begitu baik. Setiap keinginan saya selalu dipenuhi. Dan janin ini adalah satu kepercayaan besar buat saya. Kalau saya mengabaikan, menyepelekan, atau bahkan menyianyiakannya rasanya berdosa sekali. Dan saya sadari...hidup saya harus mulai ditata lagi. Tidak bisa lagi saya menomorsatukan loyalitas pada tugas kantor. Pulang di atas jam8 malam. Membawa lelah dan beban pikiran sisa pekerjaan yang belum beres. Apalagi berkeliaran liputan di lapangan. Mungkin calon ibu yang lain bisa melakukannya. Tapi tidak dalam kacamata seorang ibu ideal di mata saya. Terlalu konvensional mungkin pikir orang. Tapi biarlah. Saya dibesarkan dengan kebiasaan konvensional itu. Dan seperti itulah pandangan ibu ideal menurut saya. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti dari pekerjaan saya. Pekerjaan yang dulu saya impikan. Pekerjaan yang sudah saya lakoni lebih dari 2tahun. Saya berhenti bukan di saat saya bosan, tapi saat saya merasa cukup. Kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi tidak sedikitpun menjadi penghambat saya. Kebahagiaan bagi saya sesederhana udara yang kita hirup setiap hari. Bukan serumit tumpukan materi dan puja-puji. Saya tahu, perubahan itu pasti. Saya harus melangkah. Melepaskan mimpi yang sempat saya genggam. Dan kembali berlari mengejar mimpi yang lain. Bukan lagi hanya mimpi saya. Tapi juga mimpi kami. Saya berhenti bekerja saat usia kandungan saya 4bulan. Masih belum terlalu besar memang. Tapi saya pikir itu waktu yang tepat. Saya tahu saya harus beradaptasi dengan masa peralihan ini. Dari yang tadinya begitu aktif di luar menjadi di rumah saja. Di rumah, saya tidak bisa hanya diam, menonton TV, tidur, bangun, lalu menonton TV lagi. Sayangnya saya bukan orang yang bisa seperti itu. Syukurlah masih ada yang percaya kepada saya untuk bekerja meski hanya sebagai freelance. Di rumah pun ada banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang cukup menyita waktu dan tenaga. Meski begitu kadang masih saja terasa ada yang hilang. Kehangatan teman-teman kantor. Proses kerja yang saya lakukan sebenarnya sama saja. Jam yang saya gunakan pun tak jauh beda. Saya cukup disiplin bekerja dari jam9-12 lalu istirahat sampai jam13 dan melanjutkan pekerjaan saya sampai maghrib. Tidak jauh beda dengan jam kantor sebelumnya. Hanya saja tidak ada keakraban canda tawa teman-teman kantor karena saya hanya sendiri di dalam rumah. Saya tidak bohong kadang rasa sedih itu datang. Rasa sepi dan sendiri. Kalau sudah seperti itu saya kelewat manja. Entah ini bawaan hamil atau tidak. Yang jelas saya jadi memaksa suami cepat pulang, tidak boleh lembur meski sebenarnya harus. Kadang saya suka mengarang alasan sendiri agar suami nggak jadi lembur. Rasanya penghibur sepi saya cuma dia. Mendadak dunia saya jadi sempit. Hingga saya sadari satu hal. Janin di perut saya semakin besar. Semakin aktif. Dan sekarang saya sudah bisa merasakan tendangannya yang semakin sering. Kadang perut saya jadi bergelombang karena tingkahnya yang nggak bisa diam. Sundul sana, sundul sini, tendang sana, tendang sini, perut saya pun nyembul berkali-kali. :) Manisnya. Dan saya pun sadar dialah alasan besar saya untuk membuang rasa sepi dan sendiri itu. Ketika perasaan sepi dan sedih itu mulai datang. Saya datang ke depan cermin. Melihat pantulan bayangan perut saya yang makin besar. Mengajaknya berbicara lalu tersenyum sendiri. Saya tahu seharusnya saya tidak boleh bersedih lagi. Anugrah terindah ini adalah sumber kebahagiaan dan semangat baru untuk melangkah. Melangkah menuju satu jenjang kehidupan yang lebih tinggi lagi. Menjadi seorang ibu. Bismillahirrahmanirrahim. Tuntun selalu hamba pada jalanMu.