Selasa, 13 November 2012

TITIK BALIK

25 tahun. Mungkin disinilah titik balik kehidupan saya. Perubahan itu pasti. Dan disini saya sebut titik balik karena ada banyak hal yang harus saya putuskan dengan berani. Semua yang pada akhirnya mempengaruhi jalan hidup saya ke depan. *** Saya memutuskan untuk menikah di usia 24. Cukup umur memang, tapi tidak terlalu tua (setidaknya di jaman ini). Bahkan sebagian orang masih terkeju ketika tahu saya sudah menikah. Pernikahan itu mau tidak mau merubah arah pola pikir saya. Bukan hanya bicara tentang mimpi saya tapi juga mimpinya. Bukan hanya melulu mimpi dia tapi juga mimpi kami. Dan mimpi kami sederhana. Sebuah keluarga kecil yang bahagia. Ada senyum hangat sang istri yang menyambut sang suami ketika lelah bekerja. Ada celoteh anak kecil yang selalu menyegarkan suasana. Kebahagiaan keluarga dalam kehangatan sebuah rumah dan lingkungan yang nyaman. Meraih hal sederhana itulah yang esensial bagi kami. Tapi terkadang meraih kesederhanaan itu tak semudah meraih mimpi akan kemewahan yang semu ya. Sulit...bukan berarti kami tak berusaha. Banyak hal yang butuh sekedar peluh tapi juga tangan Tuhan. Dan doa adalah kekuatan kami. Saat itu menjelang ulang tahun saya ke 25, suami bertanya apa keinginan saya. Saya terdiam. Berpikir apa lagi yang belum saya miliki. Hamil. Saya ingin menjadi wanita seutuhnya. Dan dia pun sempat terdiam ketika mendengar keinginan saya. Mungkin Ia sedikit kebingungan karena tak bisa membeli apa yang saya inginkan di mall atau toko. Tapi seketika kemudian dia mengamini. Mengamini keinginan saya sebagai sebuah doa. Doa akan mimpi kami. Mimpi kami berdua. Pagi itu ucapan ulang tahun dari suami menyambut saya, tepat saat saya terbangun dari tidur. Bahagia dan syukur saya panjatkan. Sekaligus berdebar karena tepat di hari itu saya akan mencoba. Mencoba satu alat yang sudah dibeli beberapa minggu yang lalu. Sebelumnya meski penasaran, saya enggan mencoba. Takut kecewa. Kali ini saya bertekat harus mencoba alat itu untuk mengobati rasa penasaran saya. Perasaan kecewa tepat di hari ulang tahun sempat terbayang. Tapi saya memberanikan diri meski masih terlambat datang bulan satu pekan. Suami pun ikut berdebar ketika menunggu saya keluar dari kamar mandi. Sementara saya di dalam kamar mandi, mencoba mempraktikkan instruksi yang tertera di kemasan, sambil mengingat betul indikatornya: dua berarti positif dan satu berarti negatif. Saya hampir tak percaya ketika dua garis itu terpampang jelas di layar indikator. Saya keluar perlahan dari kamar mandi sambil menunjukkan indikator hasilnya. Suami segera menyambut saya dengan senyum terlebarnya. Dia berusaha meyakinkan saya yang masih merasa tak percaya. Senang, bahagia, terharu, tak percaya, rasanya campur jadi satu. Ya, saya hamil. Hadiah terindah yang diberikan Tuhan tepat di hari ulang tahun saya :) Rasanya Tuhan begitu baik. Setiap keinginan saya selalu dipenuhi. Dan janin ini adalah satu kepercayaan besar buat saya. Kalau saya mengabaikan, menyepelekan, atau bahkan menyianyiakannya rasanya berdosa sekali. Dan saya sadari...hidup saya harus mulai ditata lagi. Tidak bisa lagi saya menomorsatukan loyalitas pada tugas kantor. Pulang di atas jam8 malam. Membawa lelah dan beban pikiran sisa pekerjaan yang belum beres. Apalagi berkeliaran liputan di lapangan. Mungkin calon ibu yang lain bisa melakukannya. Tapi tidak dalam kacamata seorang ibu ideal di mata saya. Terlalu konvensional mungkin pikir orang. Tapi biarlah. Saya dibesarkan dengan kebiasaan konvensional itu. Dan seperti itulah pandangan ibu ideal menurut saya. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti dari pekerjaan saya. Pekerjaan yang dulu saya impikan. Pekerjaan yang sudah saya lakoni lebih dari 2tahun. Saya berhenti bukan di saat saya bosan, tapi saat saya merasa cukup. Kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi tidak sedikitpun menjadi penghambat saya. Kebahagiaan bagi saya sesederhana udara yang kita hirup setiap hari. Bukan serumit tumpukan materi dan puja-puji. Saya tahu, perubahan itu pasti. Saya harus melangkah. Melepaskan mimpi yang sempat saya genggam. Dan kembali berlari mengejar mimpi yang lain. Bukan lagi hanya mimpi saya. Tapi juga mimpi kami. Saya berhenti bekerja saat usia kandungan saya 4bulan. Masih belum terlalu besar memang. Tapi saya pikir itu waktu yang tepat. Saya tahu saya harus beradaptasi dengan masa peralihan ini. Dari yang tadinya begitu aktif di luar menjadi di rumah saja. Di rumah, saya tidak bisa hanya diam, menonton TV, tidur, bangun, lalu menonton TV lagi. Sayangnya saya bukan orang yang bisa seperti itu. Syukurlah masih ada yang percaya kepada saya untuk bekerja meski hanya sebagai freelance. Di rumah pun ada banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang cukup menyita waktu dan tenaga. Meski begitu kadang masih saja terasa ada yang hilang. Kehangatan teman-teman kantor. Proses kerja yang saya lakukan sebenarnya sama saja. Jam yang saya gunakan pun tak jauh beda. Saya cukup disiplin bekerja dari jam9-12 lalu istirahat sampai jam13 dan melanjutkan pekerjaan saya sampai maghrib. Tidak jauh beda dengan jam kantor sebelumnya. Hanya saja tidak ada keakraban canda tawa teman-teman kantor karena saya hanya sendiri di dalam rumah. Saya tidak bohong kadang rasa sedih itu datang. Rasa sepi dan sendiri. Kalau sudah seperti itu saya kelewat manja. Entah ini bawaan hamil atau tidak. Yang jelas saya jadi memaksa suami cepat pulang, tidak boleh lembur meski sebenarnya harus. Kadang saya suka mengarang alasan sendiri agar suami nggak jadi lembur. Rasanya penghibur sepi saya cuma dia. Mendadak dunia saya jadi sempit. Hingga saya sadari satu hal. Janin di perut saya semakin besar. Semakin aktif. Dan sekarang saya sudah bisa merasakan tendangannya yang semakin sering. Kadang perut saya jadi bergelombang karena tingkahnya yang nggak bisa diam. Sundul sana, sundul sini, tendang sana, tendang sini, perut saya pun nyembul berkali-kali. :) Manisnya. Dan saya pun sadar dialah alasan besar saya untuk membuang rasa sepi dan sendiri itu. Ketika perasaan sepi dan sedih itu mulai datang. Saya datang ke depan cermin. Melihat pantulan bayangan perut saya yang makin besar. Mengajaknya berbicara lalu tersenyum sendiri. Saya tahu seharusnya saya tidak boleh bersedih lagi. Anugrah terindah ini adalah sumber kebahagiaan dan semangat baru untuk melangkah. Melangkah menuju satu jenjang kehidupan yang lebih tinggi lagi. Menjadi seorang ibu. Bismillahirrahmanirrahim. Tuntun selalu hamba pada jalanMu.

Jumat, 09 November 2012

Saya Bahagia

Saya dan eskpresi saya akhir-akhir ini memang tidak bisa berbohong. Meski deadlen di depan mata, meski objek huntingan dibatalkan, atau harus mengejar berita nun jauh di ujung bekasi, atau harus bangun pagi2 demi masak untuk suami dan berangkat pagi2 biar ga telat sampe kantor. Semua aktifitas yang bikin capek itu rasanya ringan aja loh. Hari-hari saya isi dengan senyuman. Apa sebabnya coba kalo bukan karena...saya bahagia.

Ya..SAYA BAHAGIA. Alhamdulillah. :) Dulu berjuta bayang-bayang menyeramkan menghantui saya. Cucian makin banyakkk...strikaan makin banyakkk...suami yang cerewet soal masakannn...cek-cok karena perbedaan pendapat atau sifat asli yang muncul setelah pernikahan yang tidak saya sukai. Ada yang bilang menikah itu seperti membeli kucing dalam karung. Kamu tidak akan pernah tahu sebelum kamu membelinya. Kamu baru bisa membuka karung setelah membayar tunai. Begitu juga dengan menikah. Baik dan buruk pasangan adalah konsekuensi yang harus diterima.

Setiap orang yang akan menikah pasti harap-harap cemas. Jangan-jangan salah langkah. Dan setelah satu bulan lebih =(masih satu bulan siihh ) saya menjalani pernikahan ini saya bersyukur. Suami saya sosok pemimpin yang pengertian. Tidak arogan seperti laki-laki umumnya. Dia juga terampil. Dia mau turun tangan ke dapur untuk membantu saya cuci piring. Dia juga mau membantu menghabiskan tumpukan baju yang belum disetrika. Dia juga mengerti dan tidak meminta untuk dibuatkan masakan saat kerjaan saya sedang deadline. Dia mau jau-jauh menjemput meski harus berputar arah 2x lipat untuk menjemput saya yang kemaleman karena deadline. Dia malah membantu beberapa pekerjaan saya. Menemani keliling untuk hunting. Bahkan di waktu weekend yang seharusnya bisa dipakai untuk istirahat. Meskipun saya tahu sikap yang dia tunjukkan berkebalikan dengan keinginannya untuk memiliki istri yang bekerja dari rumah saja. Yah...mungkin saat ini belum bisa seideal itu. Tapi ternyata...semua itu tetap bisa indah..karena ada pasangan yang mau mengerti, yang selalu mendukung kita, yang selalu mendampingi, dan bersedia berbagi suka ataupun duka.

Menikah mungkin lebih dari sekedar memiliki teman satu rumah atau teman berbagi tempat tidur. Rumah hanyalah miniatur kecil dari bahtera kehidupan yang lebih besar lagi nantinya. Saling berbagi, saling mengisi segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Teorinya seperti itu. Tapi ke depannya apakah semudah itu? Semoga saj ya...Rasanya jika semua dilakukan dengan cinta dan keikhlasan hati, apapun hambatan nanti akan terasa ringan kan.

Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat, berkah, dan cinta yang mendekatkan kami kepada cintaNya. Amiiinn...

*catatan 14mei2012 disalin dari multiply

menghitung hari

"menghitung hari...detik demi detik..." akhir-akhir ini lagu itu akrab di telinga saya. Bukan karna sering muterin lagu KD di playlist tapi karena temen2 sekitar saya yang banyak menyanyikannya..spesial buat saya. Itu semua tak lain karena hari pernikahan saya makin dekat. Hehehe

Yap...H-15 menuju gerbang baru kehidupan saya. :) Semua persiapan hampir 80-90% selesai. Semua vendor sudah oke. Undangan juga sudah disebar. Rumah kontrakan tempat tinggal saya dan (masih calon) suami nanti sudah diisi. Meski tidak banyak, cukup minimalis, tempat tidur, lemari, ditambah kipas angin, TV, komp, dan barang-barang bawaan dari kosan masing-masing. Tidak terlalu banyak lagi yang harus dilakukan selain deg-degan dan banyak-banyak berdoa supaya acara pernikahan sekali seumur hidup saya lancar tanpa suatu halangan pun.

Hari ini juga hari terakhir saya kerja sebelum cuti panjang kurang lebih 3minggu. Sebelumnya saya sudah coba ngebut menyelesaikan semua tugas-tugas saya. Tapi toh di rumah malang nanti pasti saya masih tetep kerja. Setidaknya sampai H-10. Ya menyelesaikan jatah nulis edisi berikutnya. Hehehe...gini deh kerja di media. Pembaca mana tau reporternya mau merit apa sakit yg penting majalah terbit. Hahahaha...namanya juga dunia industri yah. Tapi setidaknya saya yakin ada teman-teman reporter lain yg peduli. Terimakasiiihhh :)

Agenda besok (jumat): beli tirai buat rumah & makan2 perpisahan sama temen2 kosan Agenda (sabtu): beberes rumah, masang tirai & dateng ke nikahan mantan temen kerja kiki Agenda minggu: berangkat dengan pesawat penerbangan pertama ke malang :) Saya udah ga sabar mencium aroma malang....semoga perjalanan pulang nanti lancar...amiiinn... :)

*catatan 22maret2012 disalin dari multiply

G A L A U

Coba tebak apa yang umumnya menggelayuti pikiran pasangan yang akan menikah kurang dari dua bulan lagi? Sekarang, setelah mengalaminya sendiri saya bisa bilang: “BANYAK!”

Kalau ada yang menebak kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan?? rasanya nggak 100% benar juga. Saya malah udah mengesampingkan hal itu. Mau dekornya sederhana kek, atau bandnya biasa aj kek, saya pasrahh. Ya sudahlah…toh itu semua cuma akan terjadi satu hari saja. Masa sesudahnya lebih panjang dan berliku. Itu yang membuat saya pusing akhir-akhir ini.

Pertama soal rumah. Saat ini kami lagi konsen cari rumah kontrakan. Opsinya ada banyak. Mulai dari kos bareng (yang ini langsung dicoret si mas), rumah petakan tapi deket kantor (yang ini mas ogah2an buat bilang iya, aq juga sih), rumah sewa bulanan (yang ini karna mikir efektifitas bajet), sampai rumah yang nyaman tapi jauh dari kantor (kita semua setuju tapi cari rute terbaik). Proses nyarinya ternyata ga segampang beli kacang goreng ya. Ga cuma cocok di kantong tapi juga harus cocok sama kondisi rumah.

Aq hampir aja nyerah dan milih rumah yang pagarnya udah berkarat disana-sini, dinding yang udah lumutan, pokoknya udah ga terawatt banget. Semua hanya karena capek dan mulai nyerah buat nyari rumah yang pas. Tapi si mas yang ga tega ngontrakin saya rumah dengan kondisi yang mengenaskan. Memang kalau weekday waktu paling banyak kami habiskan di kantor. Tapi justru karena itu, setelah penat di kantor, sewaktu pulang kami ingin merasakan benar-benar seperti “pulang” ke “rumah”. Begitu juga kalau weekend, kami ingin benar-benar merasa nyaman di rumah. Karena kita berdua bukan tipe orang yang suka jalan di mall. Jadi, meskipun kecil, rumah harus benar-benar nyaman layaknya rumah pada umumnya.

Setelah muter sana sini, akhirnya pilihan jatuh juga sama rumah yang letaknya dekat sama stasiun sudimara. Memang kita agak kurang sreg sama lingkungan saat menuju rumah itu karena deket dengan stasiun dan pasar yang ramaii. Tapi akses buat aku kalopun nanti tetep kerja masih mudah. Ada kereta yang bisa menghubungkan ke lokasi-lokasi yang strategis. Rumahnya juga udah masuk cluster kecil yang ada satpam di depan. Jadi insyaAllah aman. Toh…nggak ada yang sempurna kan. Selama kekurangannya masih bisa ditoleransi yah gpp.

Dan kegalauan nggak berhenti di masalah rumah aja. Tapi juga tentang diri saya sendiri. Saya pun sempet jadi labil ababil. Kemarin bilang A, besoknya merasa B, lusanya sudah jadi C. Rasanya saya jadi ABG banget. Sayangnya bukan umurnya tapi pikirannya. Eitsss…tapi jangan berpikir saya ragu dengan sosok yang sudah saya pilih. Syukurlah semakin hari saya semakin mantab membangun rumah tangga dengannya.

Yang saya galaukan adalah pilihan tentang karir saya. Tetap bekerja itu pasti. Karena saya bukan tipe orang yang bisa diam di rumah dengan hanya menonton infotaiment dan sinetron. Oh God I’m not . Tapi yang saya galaukan adalah bekerja di perusahaan orang atau bekerja di perusahaan sendiri. Lalu tetap di bidang yang saya jalani saat ini, atau kembali pada bidang yang sesuai dengan background saya sebelumnya. Arghhh…labilll….

Kontrak kerja saya berakhir tepat seminggu sebelum saya menikah. Dan keputusan perusahaan untuk memutus kontrak, lanjut kontrak dengan istirahat sebulan, atau mengangkat sebagai karyawan tetap, baru diberitahukan di awal Maret. Itupun kadang molorrr sampai pertengahan atau akhir bulan menjelang kontrak berakhir.Sementara itu tawaran lain pun datang. Saya semakin punya banyak pilihan. Bersyukur karena masih bisa memilih, ya. Tapi juga makin bingung karena makin banyak pilihan. MAKIN LABILLLL

Yah, pilihan itu memang agak menyilaukan sih. Satu kesempatan dimana saya harus memilih antara uang atau kesempatan. Antara bermain di zona aman atau mencoba tantangan baru. Dan saya sempet agak sayang waktu tawaran itu berlalu yang sedikit banyak karena kesengajaan saya sendiri. Karena bagi saya uang bukan segalanya. Dan saya bukan orang cengeng yang tidak mau beranjak dari zona nyaman. Tapi dia tidak bisa menunggu saya, atau tepatnya keberatan dengan tawaran terakhir yang saya ajukan. Hmm….Ya mungkin namanya bukan rejeki. Ya sudah…Tapi kadang saya masih terngiang-ngiang dengan kata “CLOSED” di akhir emailnya. HAHAHA

Mungkin saya cuma kurang pasrah. Kurang yakin dengan apa yang sebenarnya hati kecil saya inginkan. Begitu takut dengan banyak hal. Maaf Tuhan, tidak pernah sedikitpun terbersit di benakku untuk mengabaikan kuasamu. Engkaulah yang berkehendak atas segala sesuatu Bantu saya untuk mengerti selalu ada cerita yang indah di setiap rencanamu.

*catatan 17feb2011

semua akan baik-baik saja

Ada kecemasan yang menyelinap di benak saya pagi tadi. Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang dengan tiba-tiba menimpa dada saya. DUB! Berat dan membuat saya susah bernapas. Kecemasan yang datang ketika saya mengingat sesuatu.

Saya sudah memantabkan hati saya untuk melakukan keputusan itu nanti. Keputusan yang sudah saya pikirkan sebelumnya. Dan menurut pertimbangan saya, saat itu adalah waktu yang tepat. Saya bahkan sudah merencanakan beberapa hal setelah keputusan itu saya laksanakan. Tapii...mendadak saya merasa harus mereview rencana itu lagi. Berpikir lagi apakah keputusan yang akan saya lakukan itu sudah benar. Sebelum benar-benar dilaksanakan toh masih ada kesempatan untuk menimbang-nimbang kan. Masih ada waktu untuk berpikirrr...Dan itulah yang merenggut energi saya pagi ini.

Sudah 3 bulan saya nggak ngeprint buku tabungan. Dan buku tabungan memang sudah saatnya ganti. Buku rekening bank pertama lembarnya sudah hampir habis, sedangkan buku rekening kedua sudah buluk gara-gara kehujanan waktu itu. Ya sudah akhirnya, pagi itu saya putuskan ke bank sambil memindahkan sejumlah uang dari "rekening konsumtif" ke "rekening saving". Saya juga penasaran berapa nominal uang yang sudah saya tabung. Setelah buku tabungan diprint semua. Baru terlihat secara nyata berapa jumlah uang yang saya miliki saat itu. Bagi saya tidak sedikit sih (untuk ukuran saya yah), tapi juga tidak banyak juga untuk ukuran orang yang akan punya hajat besar dalam hidupnya. Hffhhhh...

Setelah sekian lama diliatin...dan berpikir tentang rencana saya ke depan...keluarlah daftar panjang yang ingin saya lakukan. Barang-barang utk persiapan hajat besar hingga sejumlah nominal untuk investasi. Dan saya stuck...menghela nafas panjang...saya menutup buku tabungan itu. Toh angkanya nggak akan berubah setelah saya mengedipkan mata. Sekelebat bayangan foya-foya saya kemarin hadir lagi. Sebenarnya bukan foya-foya sih...cuma sekedar refreshing dari kepenatan kerja. Itu yang sering jadi pembelaan saya. Tapi saya tetep nyesel kenapa ga dari dulu-dulu saya disiplin buat menyisihkan lebih banyak lagi. Saya yakin kalau itu saya lakukan angka di tabungan saya bisa bergerak setidaknya 2tingkat lagi lah... Hfffhhh....

Saya pun rasanya ingin memaki diri saya sendiri yang nggak bersyukur. Sudah banyak yang Dia beri. Masiiihhh saja nggak bersyukur. Kalau dibandingkan orang lain toh sebenarnya apa yang saya alami nggak parah-parah juga. Tapi tetap saja...masalah itu mengganjal. Membuat saya setengah hati untuk menjalankan apa yang akan saya putuskan nanti.

Saya benci kalau harus melakukan sesuatu tidak dari hati. Saya benci kalau saya ingin beranjak tapi tidak bisa. Saya tidak ingin tertahan hanya karena uang. Bukan uang penentu kebahagiaan saya. Tapi saya manusia yang sungguh lemah. yang kadang takut, ragu, cemas. Karena saya tidak memegang buku skenario yang bisa saya intip kapan saja. Saya hanya bisa menulis di atas angin. Menggantungkan rencana yang tidak pasti.

Bukankah keraguan saya ini wajar Tuhan? Bukankah rasa takut ini juga wajar? Jangan Kau ombang-ambingkan hatiku. Engkaulah pemilik hati yang mampu membolakbaliknya kapanpun. Engkaulah penguasa alam semesta yang kuasa memberi apapun yang aku minta. Saya hanya menjalani hidup ini sekali. Setidaknya biarkan saya memiliki satu-satunya hak saya...MEMILIH. Memilih jalanMU. Mampukan saya untuk menetapkan hati ini. Lapangkan hati saya untuk rencanaMU yang lebih besar. Hfffhhh...

everything is gonna be alright kan Allah??? everything is gonna be alright kan?? tolong bisikkan itu di telinga saya... dan hembuskan ketenangan dalam hati saya...

*catatan 1des2011 disalin dari multiply

RESIGN

RESIGN.

Kata itu beberapa bulan ini akrab di telinga saya. Tidak hanya di tempat kerja tapi juga di KOS-tempat tinggal saya saat ini. Dalam lima bulan terakhir ini kurang lebih ada 10 rekan saya yang resign dari tempat kerjanya. Alasan resign mereka bermacam-macam. Ada yang resign karena ingin fokus pada “karir” barunya sebagai istri. Ada yang resign karena harus kembali ke kota asalnya karena orang tua sakit parah. Ada juga yang resign karena lebih memilih profesi lain yang lebih menantang. Bahkan ada yang resign karena ingin melupakan mantan pacar di satu kantor yang akan segera menikah.

Entah kenapa bermacam-macam alasan itu muncul dalam waktu yang berdekatan, di saat saya memutuskan untuk tetap berada di posisi aman. Dari mereka yang resign, 6 diantaranya resign tanpa ada kepastian dari perusahaan baru yang akan menggandengnya sebagai pekerja. Itu keputusan yang sangat berani, menurut saya. Tidak mudah tentunya bagi seorang pegawai yang sebelumnya “aman” dengan jatah setiap bulan, kemudian harus mengambil resiko bertahan dengan penghasilan tidak tetap dari job lepas (freelance), bahkan mungkin tanpa penghasilan sama sekali.

Saya acungkan jempol untuk mereka yang berani stand up dan membuat pilihan itu. Menurut saya, seseorang yang bisa dengan berani membuat pilihan yang dia inginkan tanpa takut untuk kehilangan nominal yang ia butuhkan, sesungguhnya adalah orang yang kaya - terlepas dari berapapun tabungan yang dia miliki. Semua itu memang pilihan hidup. Tidak ada yang berhak menghalang-halangi keputusan itu. Tidak seorang bos sekalipun.

***

RESIGN

Saya ingat saya pernah melakukannya. Satu kali dulu. Waktu pertama kali bekerja di sebuah PMA (Perusahaan Milik Asing) Italia. Hanya 1,5 bulan, sebelum akhirnya saya membuat keputusan bulat bahwa itu bukan dunia saya. Saya memilih satu kesempatan lain yang sudah saya impikan sebelumnya. Berat rasanya waktu memutuskan mengatakan hal itu pada bos saya. Saya tahu bos saya berharap banyak pada saya yang harus menggantikan posisi pekerja sebelumnya. Tapi toh dia tidak bisa menahan saya, dan memang tidak berniat menahan siapapun yang sudah tidak ingin bekerja dengannya. Ya buat apa ditahan-tahan kalo memang sudah tidak ingin kerja lagi kan. Mungkin itu yang ada dalam pikirannya.

Tapi ternyata, toh tidak semua manajemen perusahaan bisa dengan lapang dada melepaskan pegawainya. Perusahaan tempat teman dekat saya bekerja contohnya. Setelah memenuhi prosedur untuk mengajukan surat resign sebulan sebelumnya, dia akan menerima sindiran2 nggak enak sebulan sebelum dia hengkang. Katanya nggak butuh lah, buat apa bertahan, dsb. Kadang saya heran dengan manajemen perusahaan yang seperti itu. Harusnya mereka bangga ketika pegawai didikannya mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Artinya perusahaan itu tidak sia-sia mendidik pegawainya sehingga diakui perusahaan lain. Tapi toh tidak semua bos perusahaan bisa berpikiran seperti itu. Ada yang merasa rugi kalau tidak “memeras” pekerjanya sampai habisbisbis. Kasian ya buat perusahaan yang seperti itu. Merasa kaya padahal miskin.

***

RESIGN

Saya pernah melakukannya, karena itu saya tahu kapan keputusan itu harus benar-benar diambil. Dulu sebelum saya resign dari pekerjaan yang lama, saya memang merasakan beberapa hal. Saya sering malas bangun ketika pagi. Bahkan merasa sedikit trauma sampai sekarang ketika mendengar bunyi penjual roti. Bunyi-bunyian penjual roti itu mengingatkan saya bahwa hari sudah pagi, dan artinya juga saya harus melangkahkan kaki saya ke tempat yang sejujurnya tidak saya minati.

Saya juga merasakan badan saya mulai aneh. Mulai tidak nafsu melihat makanan dan merasa cepat kenyang. Alhasil badan pun mengurus. Saya merasa sering sakit perut. Hingga pada puncaknya saya merasa perlu check up, tes urine, untuk meyakinkan kondisi kesehatan saya. Hasilnya, saya baik-baik saja. Aneh kan, padahal saya merasa tubuh saya sakit. Yahh…mungkin psikis saya yang sedang “sakit”. Tersenyum setiap saat tapi sesungguhnya ada sesuatu yang tertahan.

Ya. Saya merasa pekerjaan yang saya terima waktu itu tidak tepat. Meski menjanjikan karir dengan standar sebuah PMA. Tapi, toh pekerjaan lebih dari sekedar karir kan.Saya harus menikmatinya. Saya bukan orang yang mudah nrima begitu saja. Jangan harap saya menyerah dan bilang “Ya sudah lah, alhamdulillah udah dapet kerjaan ini. Cari kerjaan kan susah.” No saya bukan orang seperti itu.

Dan untungnya pekerjaan yang saya impikan datang juga. Meski sedikit terlambat, tapi tentu saya tidak ingin membuang kesempatan itu. Dengan tekat bulat saya mengatakan pada bos saya. I’m sorry. Akhirnya saya resign setelah saya menerima gaji pertama saya yang utuh. Bye. Setelah itu saya menjalani hidup baru dengan pekerjaan baru.

***

RESIGN

Mau tak mau akhir-akhir ini saya harus memikirkan kata itu lagi. Entahlah. Saya telah menggenggam mimpi saya dengan berada di posisi ini. Tapi bukankah waktu terus berlalu dan saya bukan berubah tapi juga ikut tumbuh. Baik itu perasaan saya, pikiran saya, juga lingkungan saya. Ada banyak yang saya pikirkan, lebih dari sekedar karir, salary atau beban kerja. Sebuah pilihan hidup untuk melangkah.

Apapun itu saya rasa tidak baik jika seseorang berhenti lalu merasa cukup padahal sebenarnya ia bisa berkembang lebih. Saya mulai merisaukan banyak hal. Hingga saya sadari saya mulai mengalaminya lagi. Trauma dengan pagi. Merasa sakit meski tak benar-benar sakit.

Untungnya masih ada yang mengingatkan saya makan. Setidaknya masih ada yang membuat saya sedikit lupa akan hal itu. Tapi toh lupa itu tidak bisa membuat saya lari. Masalah itu akan tetap ada disitu, tetap seperti itu, jika saya diam dan tak coba mengatasinya. hpfhhh... Saya tahu saya harus segera membuat keputusan.

*catatan 31juli2011 disalin dari multiply

pergi ke poli gigi puskesmas

Hari ini saya mencoba dokter gigi yang ada di puskesmas. Pertimbangan pemilihan puskesmas adalah karna MURAH! Yg jelas lebih murah dari dokter gigi spesialis. Lagipula saya nggak merasa sangat urgen utk pergi ke dokter gigi spesialis. Keluhan saya cuma membetulkan tambalan gigi lama yg sprtinya mulai bermasalah lagi. Yg sakitnya sesekali masih bisa ditahan dgn p*nst*n. Saya ke puskesmas ini untuk pertama kalinya. Puskesmas di kota orang yang kebetulan lokasinya dekat dengan kos-an saya. Saya datang sendiri, antri sendiri, bingung2 sendiri, mengandalkan kemampuan bertanya -yang ternyata tidak semua sesama pasien itu ramah. Apalagi yang sakit gigi. Ya sudahlah gpp. Saya bersyukur saja masih bisa tersenyum ramah meski menahan lapar dan tidak terkena pengaruh p*nst*n pagi ini. Puskesmas. Layanan kesehatan masyarakat yang murah. Saya berangkat jam 7.30. Karena jalan kaki sekitar 15 menit kemudian saya baru sampai di puskemas. Dan ternyata...sudah sangatt antriiii. Hwaahh..syok saya, ga nyangka orang sakit banyak banget yah. Waktu daftar administrasi karna baru pertama kalinya saya ga tau harus gimana. Katanya sih suruh nunggu dipanggil. Tapi ga dipanggil-panggil juga. Sampe akhirnya orang yang 6 no di blkg saya punya inisiatif maju duluan bwt nanya. Dan tnyata dilayani. Ealah...saya kirain bener2 antri..tnyata langsung maju aj tho. Y wes lah gpp namanya juga pertama kali. Saya menghibur diri sediri. Antri ke poli giginya ternyata cukup lama. Saya pikir waktu naik ke tempat poli gigi sudah tinggal menunggu max 5 nomor lagi lah. Ternyata yang dipanggil baru no1. OMG padahal saya no 25. Oalah yo sabar saja lah. Akhirnya waktu tunggu itu diisi dgn nulis blog ini. Hehehe... Waktu nunggu di poli gigi ada anak kecil yg bilang ke ibunya "ma...gigi aku copot ya", dia bilang dengan bangganya. Hmm...dia mengingatkan saya akan masa kecil saya. Dulu waktu kecil SD kira2, saya ke poli gigi juga ditemani ibu saya. Saya menunggu juga sambil ngantuk2. Waktu itu bukan buat tambal gigi. Gigi saya masih bagus banget wktu itu. Masih gigi susu sih. Hehe... Saya kesana justru untuk cabut gigi susu yg saking kuatnya ga maw copot, padahal gigi yg baru udah tumbuh. Bahasa jawanya "kesundulan". Dan cabut gigi itu sakit. Saya masih inget saya nangis kenceng waktu sebelum dan sesudah dicabut. Gabungan perasaan takut dan sakit. Sempurna sudah. Saya pun nangis sejadi-jadinya. Sampai dokter giginya BT kali ya. Jadinya judes banget deh. Padahal kan waktu itu saya masih kecil. Setelah dicopot sambil berusaha menghapus air mata dan sedikit ingus, saya pulang. Sama ibu juga pastinya. Pulangnya naik becak. Becak banyak banget waktu itu. Kena semilir angin sepoi2 rasa sakitnya pelahan hilang. Mungkin cuma rasa canggung si lidah karena kehilangan gigi saja yang masih tersisa. Hmm...dan lagi2 semua itu membuat saya kangen...sangat kangen...buat pulang. Meski sekarang puskesmas itu sudah pindah, ga disitu lagi. Saya kangen jadi kecil dan ditemani ibu ke dokter gigi. Kangen naik becak dgn semilir angin sepoinya. Ahh...sakit gigi membuatku rindu kampung halaman. *catatan 14des2010 disalin dari multiply

beauty of love

Tell me, what is love??and how does it work?I always try to find out. But I stil wonder how it works. Seems like mysterious thing. Yah. Hanya beberapa bulan yang lalu saya katakana TIDAK. “Sorry I cant do that. I cant be yours. Sorry.” Yang ada dalam benak saya waktu itu hanyalah tanda tanya. Masih dengan pertanyaan yg sama. “How does love work? We just know each other. What love that he means?” I couldn’t find the answer. He just said that he didn’t know. Just love. Just falling in love. What! Naif sekali. Saya tidak bisa menerima alasannya. Cinta tidak semudah itu! And time goes by…dia semakin menyebalkan…saya semakin tidak yakin melangkah bersamanya…saya semakin merasa keputusan yang sudah saya lakukan adalah sangat tepat. but time goes by and he always there….sumthing call mysterious thing come…still wonder how it works but God has opened my eyes…actually not my eyes…but my heart…God taught me how to see sumone with heart…how to feel the love with love…And I cant close my eyes…cant close my heart…when he said (for the first time)…he asked me… my heart…he was begging me…in the name of the one that I love most…the one that give me breath and life. He was begging me in the name of God. And sumthing call mysterious thing is works. Love become so naturally. Sound like a whisper…blow in my heart…And It happens. I’ve already fall…falling in love with him. Tidak seperti pangeran punya Cinderella. Tidak juga seperti clark di serial smallville. He just an ordinary guy. Meskipun dia percaya diri 100% dengan semua yg dimilikinya. But well I have choose him. Atas nama cintaNya…saya memutuskan menjalani satu komitmen dengannya. Seseorang yang telah meminta saya atas namaNya. Seseorang yang telah meminta cinta saya padaNya. Dan Tuhan membisikkan cinta itu lewat cara yang misterius. I think I don’t need to ask “why” or “how” anymore. Love is enough. I think I don’t need any explanation. Just love. Thanks God…for the beauty of love. ;) *Catatan 12des2011 disalin dari multiply

JURNALISTIK???

As a Journalist??But what is journalistic??? Itulah pertanyaan yang terlintas di kepala saya ketika membaca tittle pekerjaan yang tercantum di kartu nama saya. Sekonyong-konnyong saya merasa bingung, heran, senang sekaligus penuh tanda tanya. Berulang kali saya harus mencubit tangan saya sendiri dan menyadarkan siapa diri saya sekarang. I’m not designer anymore. I won’t create sumthing. But I’ll search sumthing to be news. Yes I’m a journalist. Meskipun masih terbata, saya berusaha memahami posisi saya. Meskipun tanpa diklat atau masa orientasi, sebisa mungkin saya memahami peran yang saya jalankan dalam sebuah media. Pekerjaan yang sebetulnya saya impikan, entah kenapa jadi begitu membutakan saya. Seperti cahaya bintang yang kita lihat dari kejauhan. Indah, apalagi jika kita mampu menggenggamnya. Tapi ketika cahaya itu dekat, ternyata begitu menyilaukan. Seketika juga membutakan. Mungkin itu juga yang saya rasakan pada awalnya. Tapi sebuah proses membawa saya pada banyak pelajaran. Diam dan banyak mendengarkan sambil diam-diam “mencatat” apa yang mereka katakan tentang jurnalistik. Jurnalistik = suck = ??? Suatu ketika saya terkejut dengan kata-kata rekan saya yang lebih lama berkecimpung di bidang jurnalistik dibanding saya. Dia bilang “Jurnalistik itu suck!!!”. Dengan keras ia mengatakan itu kepada saya. Saya lama termangu menunggu kata-kata selanjutnya. Kata-kata itu sungguh menampar saya. Menampar saya sebagai seorang journalist. Jika journalistic itu suck, lalu apakah saya yang notabene adalah journalist juga bagian dari kata suck itu. ??? Dan dia menjelaskan beberapa kalimat. Bercerita tentang jurnalistik yang lebih banyak dia tahu dibanding saya. Saya mendengarkan, seksama, tapi tetap tidak terpuaskan. Ada banyak hal yang harus saya tahu tentang jurnalistik. Dan itu tidak bisa terpuaskan hanya dengan cerita. Saya harus mengalaminya. Saya harus masuk di dalamnya. Dan saya baru bisa menilai sendiri apa itu sebenarnya jurnalistik. Jurnalistik = jam terbang ??? Redaktur pelaksana media saya pernah bilang bahwa jurnalistik itu adalah tentang jam terbang. Saat itu saya sadar betul bahwa level saya masih beginner. Ia bilang dari jam terbang itu seorang wartawan akan mendapatkan semakin banyak narasumber yang bisa memperkuat tulisannya. Darisana saya simpulkan jurnalistik itu lebih dari sekedar menulis. Proses sebelum menulis itu lah seni profesi seorang wartawan. Jam terbang itu penting. Saya sadari betul kalimat itu untuk memacu saya lebih baik lagi dan lagi. Tapi terkadang itu membuat saya kecil hati. Terutama jika berada di tengah wartawan lain. Seperti suatu ketika saya berada dalam sekelompok wartawan. Waktu itu kami sedang menunggu narasumber kami. Kami berempat waktu itu. Satu orang sudah malang melintang di dunia wartawan. Berpindah-pindah dari satu harian ke harian, hingga akhirnya memegang majalah untuk stake holder. Satu lagi wartawan harian ekonomi yang dulu sempat lama di majalah ekonomi juga. Satu orang lagi wartawan majalah ekonomi yang ternyata teman sepantaran bos saya. Dan saya sendiri wartawan majalah arsitektur interior yang belum ada satu tahun menjadi seorang wartawan. Yang masih meraba tittle journalist di kartu nama yang suka dbagi-bagikannya. Sambil membunuh waktu kami pun ngobrol ngalor ngidul. Lebih tepatnya mereka sih yang ngobrol ngalor ngidul. Membicarakan teman mereka satu sama lain yang sama-sama bekerja di media. Si toni lah, joko lah, ah siapa itu saya tidak tahu. Praktis saya lebih banyak diam. Maw ngobrol tentang ekonomi juga saya bingung. Apalagi teman-teman wartawan yang lain. Sampai akhirnya mereka sampai di satu pembicaraan seorang wartawan harian ekonomi yang mengeluhkan pekerjaan wartawan-wartawan karena masih baru. Dan pipi kanan saya tertampar . Meski dia kemudian meralat ucapannya karena saya nyelethuk sensi meski sambil bercanda. Ia meralat wartawan harian dan wartawan majalah pressure nya beda. Yah sudahlah. Bagaimanapun dia meralat ucapannya, pipi kanan saya sudah terlanjur tertampar. Tidak seberapa sakit sih. Masih ada pipi kiri yang baik-baik saja. Lagipula saya sudah sadari betul sih, jurnalistik adalah tentang jam terbang. Tamparan di pipi kanan rupanya tidak benar-benar cukup. Satu lagi kejadian. Ada satu lagi wartawan yang ikut nimbrung selain berempat tadi. Wartawan majalah stake holder yang sebelumnya sudah malang melintang di dunia jurnalistik. Waktu itu kita sedang membicarakan tulisan harian lain tentang event yang sama-sama kita liput. Membicarakan satu judul yang terbilang sangat-sangat positif yang akhirnya jadi malah negatif menurut kami. Dan wartawan baru yang ikut nimbrung tadi membanting korannya ke meja sambil bilang “Di dhelok tekhok lead e ae wes kethok lek wartawane anyar gurung ono setaun”. Kurang lebih artinya “Dilihat dari leadnya saja sudah kelihatan kalo wartawannya baru belum ada setaun”. Dan benar saja sekarang pipi kiri saya yang tertampar. Keras. Lebih keras dari tamparan sebelumnya. Karena kali ini tidak ada ralat. Karena saya pun memilih diam saja. Diam. Benar-benar diam. Sudah telak! Tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yayaya…jurnalistik adalah tentang jam terbang. Itu benar. Tapi hati saya tetap tidak terpuaskan. Apakah benar tonggak demokrasi bertopang pada yang namanya jam terbang. Saya masih terus mencari. Menangkap momen, menyimpannya dalam memori saya, dan mencari tahu apa itu jurnalistik. Waktu itu dalam sebuah diskusi terbuka ada banyak orang yang hadir dari berbagai macam latar belakang pendidikan dan usaha. Ada pengusaha, asosiasi pengusaha, narasumber, pemerhati lingkungan, dan tentu saja ada wartawan. Salah seorang narasumber yang juga senior di salah satu media terbesar mengungkapkan pertanyaan yang sedikit menohok salah seorang pengusaha yang sedang punya hajat dalam acara itu. Sekonyong-konyong setelahnya seseorang yang mengaku dari media daerah itu mengajukan pernyataan dengan komparasi yang dangkal menurut saya. Dan disana terlihat sekali ia membela pengusaha yang sedang punya hajat. Saya cuma tersenyum getir mengikuti debat kusir itu. Debat yang tidak cerdas dan tidak anggun. Seorang wartawan harian ekonomi di belakang saya nyeletuk “wartawan bayaran nih”. Oh God, saya tersentak! Dia membuka satu celah pikiran negatif yang sebenarnya tidak terlintas di benak saya.Tapi melihat ketidakwajaran itu, mau tidak mau kemungkinan itu pasti ada. And there were so discusting!. Mungkin ini yang dikatakan rekan saya bahwa jurnalistik itu suck! Saya Cuma mengelus dada. Mungkinkah serendah itu. Dan dari yang saya tahu dia wartawan yang punya jam terbang. Bukan wartawan baru seperti saya. Sayangnya jam terbang yang dia miliki rupanya tidak menjanjikan banyak hal seperti yang saya harapkan sebelumnya. Jam terbang ternyata tidak menjanjikan segalanya tentang jurnalistik. Hal yang sama dikatakan teman satu kos saya juga yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia jurnalistik. Dia bilang “Lihat dulu hasil tulisannya baru dia bisa sok-sokan. Belum tentu lagi yang sudah senior lebih baik,” Dan kata-kata itu menghibur saya. Setidaknya membesarkan hati saya yang sudah ciut. Loyalitas! Seiring dengan waktu rasa solidaritas dengan sesama komunitas itu mulai muncul. Yah…gimana engga. Lingkungan sekeliling saya wartawan. Makan ketemu wartawan, pulang ke kosan ketemu wartawan, kerja juga jadi wartawan. Otomatis ya omongannya seputar jurnalistik, atau komentar-komentar khas wartawan. Yang biasanya pinterrr banget ngritik. Tapi sebenernya belum tentu juga bisa melakukan apa yang dia ungkapkan. Haha… Yah kami wartawan memang harus memegang satu patokan yang benar sih ya. Harus kritis dengan apa-apa yang diluar jalur kebenaran. Ah sepertinya keren yah..penegak kebenaran. Haha.. Rasa solidaritas itu biasanya muncul ketika ada berita tentang wartawan. Misalnya ketika seorang wartawan ditemukan meninggal secara misterius. Atau ketika ada berita wartawan meninggal karna meliput daerah bencana. Meski ga kenal rasanya tuh kayak udah mau nyelawat aja. (Meskipun ga nyelawat juga sih akhirnya). Melihat wartawan yang bekerja dengan penuh loyalitas tuh rasanya pengen hormat grak. Apalagi sampe berkorban nyawa gitu. Menyeramkan kalo sudah seperti itu. Dulu saya cuma lihat di tv atau di film2 wartawan-wartawan yang diteror karena menulis berita yang mengancam seseorang. Atau wartawan yang menembus medan perang dan bencana. Sekarang semua itu begitu dekat ada di hadapan saya. Welcome to the real world! Pekerjaan ini tidak mudah. Menuntut loyalitas yang tinggi. Jika boleh saya ingin sejajarkan dengan profesi dokter. Jika seorang dokter jam berapapun harus siap ketika ada pasien yang gawat. Begitu juga wartawan harus siap turun kapanpun itu. Seperti terjadi di salah satu teman saya, tetangga satu kosan. Dia harus berangkat malam-malam jam 22.30 waktu itu untuk meliput merapi yang baru meletus. Bayangkan berangkat malam itu juga. Ga pake nunggu besok. Padahal dia baru datang dari liputan di Cirebon. Wah saya ngga bisa bayangkan gimana capeknya. Apalagi kalo inget badannya yang kurus kering. Dan malam terakhir sebelum dia brangkat kita makan malam bareng. Dia masak sayur yang tersisa di kulkas kosan kami. Tinggal dua batang ocet waktu itu. DIa sempet meminta sayuran dari lalapan saya. Karna ga tega saya kasih aja sekalian ikannya. Dan ternyata malam itu juga dia harus brangkat. Untung dia sudah makan malam. Stidaknya ada energi malam itu kalaupun harus turun cari berita malam itu juga. Dan sampai sekarang teman saya itu belum kembali. Bahkan merapi terus bergejolak. Beberapa berita tentang wartawan yang meninggal terkena awan panas sempat jadi berita di awal-awal bencana itu terjadi. Saya kepikiran banget. Teman saya sedang menjalankan tugas, menantang maut. Pergi ke sebuah lokasi bencana. Bukan untuk jalan-jalan pastinya. Tapi untuk mencari berita. BERITA!!! Mencari berita dengan taruhan nyawa. “Keren!” kata seorang teman saya yang punya background jurnalistik. Dan dia bilang dia pengen ditugaskan di medan bencana atau medan perang. Itu katanya liputan tingkat tinggi untuk seorang wartawan. Tapi saya yang bukan dari background jurnalistik berpikir, Apa itu sebanding?? menantang maut di sebuah lokasi bencana hanya untuk mendapatkan berita. Maaf jika penggunaan kata hanya ini tidak tepat. Karena setelahnya saya baru sadar betapa pentingnya sebuah berita. Dengan membuka Koran, internet, atau menyalakan tv kita sudah bisa melihat kondisi saudara2 kita yang terkena bencana. Bayangkan jika tidak ada wartawan disana. Mungkin kita tidak akan tahu kondisi disana dan mereka yang terkena bencana akan tetap menderita. Seperti kata seorang wartawan senior harian kompas “Tugas seorang media adalah MENYUARAKAN MEREKA YANG TERBISUKAN.” Dan saya mengamini kalimat itu benar adanya. Jika media itu bungkam atau dididkte oleh satu kepentingan, jelas saja eksistensinya sebagai media patut dipertanyakan. Dan…sepertinya tulisan saya cukup panjang. Mungkin anda sudah capek bacanya ya. Lalu kesimpulannya apa itu jurnalistik? Yah mungkin terlalu dini untuk wartawan ingusan seperti saya menyimpulkan. Tapi setidaknya saat ini saya bisa bilang jurnalistik itu tidak suck! Jurnalistik seperti halnya bidang pekerjaan lain. Bisa diibaratkan seperti mata uang yang punya dua sisi. Setiap orang bisa memilih akan berada di sisi mana. Wartawan yang jujur mengungkap fakta atau wartawan bayaran dengan berita pesanan. Wartawan dengan loyalitas tinggi untuk mendapatkan berita atau wartawan yang enggan turun dari kursi kerjanya. Semua itu pilihan. Yang jelas pilihan itu akan dipertanggungjawabkan. Berita yang diturunkan seorang wartawan akan berdampak pada sekian banyak pemikiran orang yang membacanya. Jika itu menyesatkan, maka ribuan orang akan tersesat. Tapi jika berita itu benar manfaatnya akan dirasakan banyak orang. Saya masih terus belajar menjadi seorang wartawan. Yang jelas saya bangga dengan status ini dan tidak akan mengecewakan rasa bangga yang tumbuh di hati saya. Saya akan lakukan yang terbaik. *catatan 9nov2010 disalin dari muliply

sekelumit cerita pulang kampung

Pulang…pulang... Sedikit ingin bercerita tentang saat-saat pertama tiba di kampung halaman beberapa hari yang lalu….Senang…puas…rasanya setelah melalui beberapa jam perjalanan di kereta akhirnya sampai juga. Setelah beberapa hari stay dan jalan-jalan keliling Malang, ternyata memang tidak banyak yang berubah. Selain di beberapa sudut aku melihat bangunan yang mulai dialihfungsikan menjadi ruko. Atau tanah2 kosong sudah mulai dibangun jadi ruko-ruko juga. Dan pengisinya masih tetap sama…swalayan indo**aret atau alf*ma*et. Persaingan yang semakin ketat. Ada juga pertokoan baru dengan cat berwarna warni di sebelah mall yang dulu kontroversial “mat*s”. Dulu kawasan itu ditutupi pagar seng dan tidak jelas fungsinya, hanya dibiarkan mangkrak sebagai bangunan yang tidak jelas. Tapi sekarang rupanya sudah jadi. Tapi saya tidak terlalu jelas juga fungsinya mall atau sekedar pertokoan saja. Sepertinya sih baru jadi. Belum banyak diisi juga. Atau mungkin masih banyak yang libur gara-gara lebaran. Pemandangan di tepi sungai daerah jembatan Soekarno Hatta mulai berubah. Apartemen yang akan dibangun di pinggir sungai itu ternyata sudah mulai dikokohkan pondasinya. Surat ijinnya ternyata berhasil keluar. Ckckck...aku penasaran...bukan seperti apa bentuk bangunannya, tapi akan seperti apa setelah 5 atau 10 tahun sesudah apartemen itu jadi. Ah...mari kota berdoa yang baik-baik saja. Masih di kawasan Soekarno Hatta. Aku lihat pembangunan rumah sakit baru yang dulu juga banyak diprotes itu juga belum sepenuhnya rampung. Entah bagaimana akhirnya. Hmm...yang jelas perkembangan kota kecil ini memang tidak secepat kota2 besar. Jalanannya juga masih sama. Tidak terlalu sepi atau terlalu ramai. Masih seperti dulu. Ahh...dan aku tetap senang kembali ke kota Malang... Merasakan kembali pulang ke sebuah rumah sederhana yang penuh kehangatan cinta...sungguh nikmat. Bangun di pagi hari...menikmati udara segar dan tanaman yang hijau di halaman depan rumah. Atau sekedar menikmati secangkir teh hangat di sore hari dan makanan kecil seadanya. Menghabiskan waktu bercengkrama dengan orang-orang yang kita sayangi. Ah...nikmatnya. Seperti hakekat sebuah rumah..bukan hanya house...tapi home...Rumah tempat kembali pulang. Untuk merasakannya tidak perlu banguanan yang mewah dan besar. Tapi jiwa2 yang mengisi rumah itu yang jadi pondasinya. Jiwa-jiwa yang punya banyak cinta. Rumahku..setelah beberapa bulan ga pulang ke rumah...kesan setelah berkeliling rumah adalah...rumahku ternyata sudah tua. Cat warna kuning yang dulu tampak cerah sekarang tampak tua. Kusam. Lantainya masih tegel jaman dulu yang warnanya kuning gading bermotif acak. Belum lagi sebagian plafon di lantai dua yang berjamur gara-gara atap yang berulang kali bocor. Buku-buku juga tampak tidak teratur di lantai 2. Belum lagi banyak barang-barang yang sebenernya sudah tidak terpakai lagi, tapi sayang buat dibuang. Kadang jadi bingung ini rumah atau gudang...hehehehe... Kamarku pun...sudah tidak jelas...yang mana ya kamarku??? Sepertinya banyak yang terjadi yang membuat tata ruangnya pun brekembang sesuai kondisi dan kebutuhan keluarga. Tidak punya kamar yang jelas tak apalah...justru aku senang bisa tidur sama mama. Hihihi....Semua ruang tetap meninggalkan makna yang dalam. Ah mungkin rumahku jauh dari kata bagus. Apalagi kalau dibandingkan dengan rumah-rumah yang aku kunjungi dan aku bahas desainnya untuk majalah tempat aku kerja. Tapi...rumahku tetap nyaman...tetap membuatku ingin pulang dan berlama-lama disana. Masih terpendam satu mimpi...yang semoga suatu saat nanti Allah berkenan mewujudkannya. Mimpi untuk merenovasi rumah itu jadi lebih cantik. Hmm...Pasti..aku pasti pulang...dan mewujudkan mimpi itu. *catatan 14sep2010 disalin dari muliply

MUDIK

Langit mendung hampir sepanjang hari. Terkadang gerimis kecil-kecil turun membasahi jalanan yang lengang. Kendaraan tidak lalu lalang seramai hari-hari sebelumnya. Pedagang keliling jalanan yang berjualan juga sudah mulai menyandarkan gerobaknya. Warteg di sebelah kantor juga sudah tutup rapat lengkap dengan jendela yang ditutupi gorden orange. Sama dengan warung penjual kebutuhan sehari-hari di gang menuju kosku. Tutup lengkap dengan papan tulisan “tutup sampai dengan 20 September”. Aih…sontak aku langsung membatin…lama benar liburnya. Dan itulah suasana terakhir kota Jakarta tiga hari terakhir ini. Kotanya sendiri seolah malas untuk “bangkit”. Hawa murungnya membuat seisi kota seolah enggan “berlari” lagi seperti yang selalu di lakukan kota metropolitan ini sebelumnya. Semua seolah ingin sejenak beristirahat. Aku pun pastinya juga ingin berteriak..”Aku…aku..”, sambil mengacungkan tangan, “Aku juga mau…liburrr…mudik” Aku seolah ingin berteriak “Jangan tinggalkan aku sendiri di kota ini.”Pulang…pulang…pulang... Kata-kata itu terngiang-ngiang terusss… Aku selalu ingin pulang. Sesering apapun aku pernah pulang, aku tetap selalu mengingkannya. Pulang, aku selalu merindukan pulang. Aku sudah melewati bulan puasa di kota ini untuk pertama kalinya. Dan sekarang ini mudik lebaran pertamaku. Owh..how I excited it so much.Semua persiapan dilakukan sebaik-baiknya. Pulang pakai kereta. Alhamdulillah masih dapat tiket meski di calo. Alhamdulillah keretanya eksekutif walopun bukan pesawat. Alhamdulillah masih bisa beli oleh-oleh. Meskipun ga banyak. Setidaknya yang utama buat kedua orang tua. Oleh-oleh buat yang lain bukan yang utama, tapi alhamdulillan masih bisa beli meskipun ga banyak dan ga seberapa. Howhhh…how could I say that I am ready to go home…I wanna go home…Hmm…aku sudah membayangkan bertemu dengan bapak ibu, melihat senyum mereka, memeluk mereka. Aku sudah membayangkan menghabiskan waktu bercerita dengan sepupu-sepupu. Membagi banyak hal yang sudah banyak terlewatkan sendiri. Ohhww…how I really wanna that moments…Please bring me to go home… *catatan 07sep2010